Pamer dan マウンティングする

24 April 2022


Selama hampir tiga tahun tinggal di Jepang, saya melihat bahwa di Jepang pun, masyarakatnya suka pamer. Kalau pamer secara umum (tidak hanya tentang diri sendiri tetapi juga pamer tentang keluarga) disebut マウンティングする (mounting). Kalau pamer khusus tentang pencapaian diri sendiri, disebut 自慢する. 

Fenomena mounting dan jiman ini bahkan bisa dilakukan oleh seseorang tanpa dia sadari. Contohnya dari brand pakaian atau tas yang dia pakai, merk smartphone yang dia gunakan, universitas tempat dia kuliah, bahkan jurusan (apalagi yang terkait langsung dengan AI atau SDGs). Contoh dari orang yang dekat dengan saya, dia diterima di perusahaan terkenal dengan gaji tinggi setelah lulus Master. Bahkan dari sebelum dia lulus, dia selalu senang berbicara tentang dirinya, sering gonta-ganti pacar (iya tentang ini pun dipamerkan), sering makan di restoran mahal dan di upload di insta story

Sayangnya, ketika dia masih berstatus sebagai mahasiswa Master di laboratorium kami, dia sering bolos, tidak mengerjakan eksperimen, dan lalai tugas piket bersama (bersih-bersih, pesan reagen atau alat lab).

Dan orang seperti dia ini, banyak. 

Sejak ada media sosial, batasan antara sharing dengan pamer jadi tipis. Banyak yang upload sedang jalan-jalan ke suatu tempat, atau makan di restoran, dll. Tetapi walaupun sebelum ada media sosial pun, orang-orang tetap “pamer” dengan bercerita ke orang-orang sekitarnya. 

Akhir-akhir ini, ibu saya sering curhat karena orang sekitarnya banyak yang pamer.

Salah satu contoh, ada orang yang bercerita menggebu-gebu bahwa beliau harus menyiapkan biaya kuliah karena anaknya (dengan sukses) diterima S2 di salah satu universitas dalam negeri. Di Indonesia, memang masih jarang orang yang bersekolah sampai S2, jadi mungkin beliau merasa spesial, dan ingin merasa “lebih” dibandingkan orang di sekitarnya.

Beliau bercerita dengan menggebu-gebu, tanpa tahu kalau anaknya ibu saya (iya, saya), sedang menempuh program doktoral, beasiswa penuh dari sejak Master, di salah satu universitas negeri terbaik di Jepang.

”ketika mendengar cerita seperti itu, bagaimana respons ibu?”,tanya saya

“gregeten, mbak! (kesal, jengkel)”, jawab ibu

“tetapi ibu nggak pamer tentang saya kan?”

“enggak, pada akhirnya, beliau tahu dari orang lain tentang mbak”

Yah, pasti terus jadi salting, diam, dan merasa kalah.

Padahal ibu saya (dan saya), dari awal tidak ingin bertanding.

めんどくさい。

Saya bersyukur karena Bapak dan Ibu saya, bukan orang yang suka pamer. Tapi kalau ditanya, ya mau gimana lagi, dijawab saja.

Contoh lain, ada orang yang cerita kalau anaknya kerja di perusahaan terkenal, gajinya tinggi. Lalu ada juga yang cerita kalau anaknya diterima CPNS. Terus ada juga yang anaknya kuliah di negara X, padahal ranking universitasnya rendah, yang penting kuliah di negara X. 

Saya mengerti kalau orang tua pasti bangga dan senang, kalau anaknya dapat ranking terbaik di kelasnya, atau diterima universitas dengan ranking tertinggi nasional, atau diterima CPNS, atau diterima di perusahaan terkenal dengan gaji tinggi. 

Tapi kalau dipamerkan, untuk apa?

Apakah ada suatu rasa kepuasan ketika memamerkan sesuatu? 

Atau memang pada dasarnya manusia itu ingin mendapat perhatian dari manusa lain?

Apakah ingin merasa lebih dari orang lain?

Pada akhirnya, seperti di Jepang, ketika salah satu sudah pamer, nantinya yang lain akan pamer dengan hal yang lebih. Gitu terus, kalau dalam bahasa Jepang disebut マウンティングマウンテン (mounting mountain, jadinya dua orang yang sedang pamer akan pamer terus, satu sama lain akan berusaha memamerkan hal yang lebih “tinggi” sehingga lama-lama jadi seperti gunung).

Walaupun begitu, di dunia ini, pasti tetap banyak orang yang humble, punya lebih tetapi memilih untuk santun, sederhana, tidak pamer. 

Yang perlu diperhatikan adalah, tidak semua orang bisa menerima apa yang dipamerkan. Bagi orang yang merasa “kalah”, dia akan merasa insecure, atau jadi tidak menerima apa yang telah dia dapatkan selama ini. Kemungkinan terburuk adalah dia bisa depresi, karena membandingkan dirinya dengan pencapaian orang lain.

Di era sekarang dimana pamer tidak hanya bisa dilakukan dengan bercerita ke orang sekitar, tetapi juga bisa dilakukan lewat media sosial, membuat orang lain harus develop perilaku bodo amat.

It become important to not giving a f*ck.

Tapi bodo amat ini tetap punya batas, karena manusia bisa annoyed juga. 

Saya tidak bisa melarang seseorang untuk pamer, jadi yang bisa dilakukan adalah menyikapi, dan mengendalikan respons, lalu berusaha supaya informasi yang didapatkan tidak merubah diri sendiri.

Saya juga mungkin selama ini sering pamer secara sadar atau tidak sadar, tetapi dengan bertemu banyak orang-orang baru, saya ingin belajar untuk memilih tidak melakukan itu, dan hanya saling bercerita dalam lingkup keluarga.

Karena dengan begitu pun, sudah sangat bahagia.

Semoga orang lain juga bisa mendapatkan kebahagiaan yang mereka inginkan. 







PS. Saya pernah bertemu salah seorang mahasiswa Indonesia yang sedang studi di universitas yang sama dengan saya. Baru pertama kali bertemu, dia sudah jiman bakari (自慢ばかり, pamer) segala tentang dirinya, sambil sok sokan ngasi advice ke orang lain. Saya yang cuma diam senyum-senyum, merasa annoyed dan jadi tidak ingin bertemu dengan beliau lagi. うざい。

Comments