(Berhenti) Menjadi yang Terbaik dan Perfeksionis

23 Januari 2023

Saya sedang senggang ketika iseng scrolling meme, lalu menemukan meme seperti ini:

 




 

Karena jadi penasaran dengan meme lain yang temanya sama, saya jadi masuk rabbit hole tentang typical Asian parents. Maksudnya bagaimana? Kalau kata orang-orang di internet, tipikal orang tua di Asia itu mereka strict dan memiliki ekspektasi tinggi terhadap anak-anaknya untuk bisa menjadi yang terbaik di bidang akademik, di sekolah. Apakah orang tua teman-teman juga seperti itu?

Saya dibesarkan di keluarga yang baik, dan saya mengiyakan, bahwa orang tua saya pun care about grades. Ketika masih kecil, hingga remaja, metode strict dan care about grades ini memang berguna untuk saya. Saya betul-betul rajin belajar, like, betul-betul rajin dan hardcore, dan saya memang bisa menjadi yang terbaik di sekolah, bisa mendapat nilai yang bagus. Sebagian besar anggota keluarga besar juga care about grades, dan sebenarnya saya mager kalau pas ketemu keluarga besar, ditanya tentang grade dan ranking di sekolah, dibandingkan dengan anggota keluarga yang lain.

Tetapi, orang tua saya dan saya yang waktu itu tidak tahu adalah, ketika dewasa, dunia tidak sesempit dan tidak semudah itu. Ketika dewasa, masalah-masalah yang dihadapi tidak bisa diselesaikan hanya dengan “rajin belajar” dan “memiliki grade yang bagus”. Ketika dewasa, baru menyadari kalau hanya menjadi yang terbaik di bidang akademik dan memiliki karakter rajin belajar itu tidak cukup.  Ketika dewasa, baru menyadari kalau memiliki hobi yang kreatif itu penting, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain itu penting, memiliki kemampuan untuk menyikapi masalah dan mengambil keputusan dengan tenang itu juga penting. Ketika dewasa, menyadari bahwa lingkup menjadi yang terbaik sudah tidak hanya lingkup sekolah dengan seratus manusia per angkatan, tetapi sudah lingkup luas, negara, dunia, bersaing dengan jutaan bahkan milyaran manusia. Ketika dewasa juga, saya baru menyadari kalau gagal itu enggak apa-apa. Dan karena sadarnya ketika sudah dewasa, mengubah dan meng-improve karakter diri sendiri jadi terasa lebih sulit, dan membutuhkan waktu yang tidak cepat.

Sebenarnya, kenapa sih sebagian besar orang tua di negara-negara Asia mendapat stereotype seperti itu?

Setelah masuk rabbit hole, saya jadi bisa tahu beberapa alasannya. Yang pertama adalah karena mereka tumbuh di lingkungan yang seperti itu, dan karena mereka menganggap itu adalah cara mendidik yang benar, mereka melakukan hal yang sama terhadap anak-anaknya. Lalu, ada juga yang berpendapat kalau sebagian besar orang tua yang tinggal di negara berkembang, meyakini kalau dengan good grades, bisa melanjutkan pendidikan hingga jenjang yang tinggi dan bisa mendapatkan pekerjaan yang layak versi mereka. Ya pemikiran itu enggak salah juga, but that’s not enough untuk struggling di dunia kerja di masa sekarang. Ditambah anak-anak yang tumbuh dengan pendidikan seperti ini bisa jadi orang yang memiliki ekspektasi tinggi terhadap diri sendiri, takut gagal, dan takut melakukan kesalahan kecil.

Tulisan ini ditulis bukan dengan tujuan menggurui dan memberi nasihat ke orang lain, tapi lebih ke curhat. Bukan, bukan, saya tidak menyalahkan orang tua saya, saya hanya ingin mengubah karakter saya yang terlanjur terbentuk sejak kecil untuk menjadi lebih fleksibel.

Saya yang dulu terlalu berekspektasi pada diri sendiri. Saya yang dulu berpikir kalau akan bisa sukses dengan mulus “hanya” dengan disiplin dalam belajar dan jadi yang terbaik di bidang akademik dengan nilai yang bagus. Ketika sudah dewasa tetapi masih dengan pola pikir seperti itu, rasanya seperti mendapat pressure, jadinya timbul anxiety dan overthinking kalau nantinya gagal atau tidak sesuai ekspektasi. Saya yang sekarang belajar, kalau disiplin dan bekerja keras untuk belajar itu memang perlu (belajar apapun, tidak terpaku bidang akademik, kebetulan saja saya masih perlu belajar di bidang akademik karena memang karir saya di akademik), tetapi, tidak perlu sampai ingin menjadi yang terbaik dan perfect. Biar ketika ada progress dan dapat achievements bisa lebih menghargai diri sendiri dan bersyukur, tapi ketika belum ada progress dan gagal, enggak terlalu sedih dan kecewa.

無理しなくていい、いつも通り頑張っていい”, kata teman saya.

Ada salah satu momen ketika saya mendapat penghargaan GTR Research Awards di lingkup Nagoya University (hanya 4 orang yang dapat penghargaan ini se univ, saya juga masih enggak percaya, :’) ), dan saya diminta untuk mempresentasikan riset saya di GTR annual meeting. Saya hampir tidak ada waktu menyiapkan slide presentasi, bahkan tidak sempat membuat script. Seperti biasa, anxiety saya kambuh, karena persiapan saya tidak sesuai dengan ekspektasi dari diri saya sendiri. Lalu, teman saya bilang:

“kamu sudah dapat awardnya, buat apa khawatir presentasinya gagal? Lagipula kamu sudah presentasi berkali-kali, jangan terlalu perfeksionis! Kalaupun salah juga enggak ada yang peduli. Lakukan seperti biasa, anggep 400 orang di auditorium itu kentang.”

Then I feel relieved.

Sekarang, saya belajar untuk lebih fleksibel dan enggak ngoyo, enggak perfeksionis. Kalau dapat achievements ya alhamdulillah, kalau belum ya berusaha lagi, sambil kalau lelah, jajan dulu, jalan-jalan dulu, take a break dulu. Juga jangan lupa untuk memperbanyak hobi, mencoba hal baru, dan bertemu orang-orang baru. Karena yang terpenting itu bukan titik ketika kita sukses (kita bahkan enggak tahu kita akan beneran sukses apa enggak), tetapi lebih ke menikmati momen setiap prosesnya, menikmati kebersamaan dengan orang-orang terdekat, baik di tempat kerja, komunitas, maupun keluarga.  



Bonus:

Foto Kiki sedang leyeh-leyeh tanpa beban



Comments