Menghargai Perjalanan = Menghargai Proses

30 April 2023

Saya sudah merencanakan pulang ke Indonesia sejak akhir tahun lalu, dan sudah membeli tiket pesawat sejak bulan Januari lalu. Tadinya mau pulang mepet lebaran biar masih bisa nge-lab sampai hari-hari sebelum lebaran, tapi akhirnya memutuskan pulang lebih awal tanggal 17 April biar bisa libur lebih banyak.

Bagi saya yang belum pernah pulang sekalipun sejak berangkat tahun 2019, lihat jadwal penerbangan saja sudah merasa medokusai. Saya mencari direct flight dari Nagoya ke Yogyakarta, tetapi tidak ada. Penerbangan dengan waktu tempuh paling cepat, tetap harus transfer dua kali di Tokyo dan Jakarta. Jadi saya harus naik kereta ke bandara Chubu Centrair International Airport Nagoya, terbang ke Narita Tokyo, terbang ke Jakarta, lalu terbang ke Yogyakarta. Membayangkan perjalanannya saja sudah lelah.

Sehari sebelum berangkat, saya sudah mulai menyiapkan hati dan mental, karena ini akan jadi perjalanan jauh saya yang pertama sejak berangkat ke Jepang 3,5 tahun lalu. Di hari-H, saya berangkat lebih awal biar ada waktu lebih kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Saya berangkat pukul 10 pagi, naik subway sampai Kanayama Station. Alhamdulillah karena rush hour sudah berakhir, saya jadi gampang dapat tempat duduk. Sampai Kanayama, saya pindah naik kereta khusus ke bandara. Saya sampai bandara sekitar pukul 12 siang. Penerbangan saya pukul setengah tiga sore, dan sampai di Tokyo dengan selamat pukul 16:00. Karena penerbangan selanjutnya dari Tokyo adalah pukul 18:00, saya langsung check in dan menuju gate untuk menunggu. Ternyata, penerbangan saya ditunda hingga sekitar pukul 19:30.

Chubu Centrair International Airport

Narita Airport

Selama saya menunggu di gate, saya mulai terkena reverse culture shock karena sebagian besar yang menunggu di gate adalah orang Indonesia.

Mereka itu, berisik.

Mungkin karena saya sudah terbiasa dengan orang Jepang yang tenang di tempat umum, jadi terus batasan “berisik” bagi saya jadi berubah dibandingkan dulu ketika masih di Indonesia.

Yasudah.

Akhirnya saya bisa naik pesawat pukul 19:00 JST. Ketika di pesawat, ada beberapa orang Indonesia yang langsung pindah kursi dari kursi dekat jendela ke empat kursi berjejer di tengah, karena 4 kursi di tengah itu banyak yang kosong. Saya tidak masalah kalau mereka hanya pindah kursi, masalahnya adalah, mereka berisik, dan rusuh.

Yasudah.

Saya sampai di bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, sekitar pukul setengah satu pagi Waktu Indonesia Bagian Barat. Setelah sampai, saya harus menunggu sampai check in untuk penerbangan selanjutnya dibuka pukul empat pagi. Setelah sahur hanya dengan roti dan air karena malas (saya bawa dua koper, jadi tidak bisa ditinggal, dan malas bawa koper ke tempat makan), saya duduk-duduk sambil membaca buku.

Di seberang saya, ada banyak ibu-ibu yang ngobrol dengan suara yang cukup bisa didengar oleh saya.

Berisik? Iya.

Saya, seorang stranger ini, bahkan sampai tahu latar belakang masing-masing ibu-ibu yang pada ngobrol, masalah yang dihadapi ibu-ibu tersebut, sampai “aib” ibu-ibu tersebut. Saya merasa, ada banyak hal yang tidak perlu dibicarakan di tempat umum.

Yasudah.

Soekarno-Hatta International Airport


Saya sudah hampir mencapai batas ketika akhirnya gate untuk penerbangan dibuka pukul 07:30. Saya langsung antri masuk gate, dan terbang tepat waktu pukul 07:55, dan sampai Yogyakarta tepat waktu pada pukul 09:30. Sampai di Yogyakarta, saya langsung ambil koper, lalu keluar lewat kedatangan domestik. Saya mencari-cari bapak, ibu dan adik di antara para penjemput, tapi belum menemukan sampai beberapa saat.

New Yogyakarta International Airport.
Sugeng Rawuh in Javanese means welcome in English


Lalu, ada seseorang yang melambaikan tangan sambil loncat-loncat.

Saya yang menyadarinya langsung menarik koper dan lari menghampiri, langsung memeluk adik.

Lalu memeluk ibu.

Adik bilang kalau Bapak belum tahu saya keluar lewat pintu keluar sebelah kanan, dan masih menunggu di pintu keluar yang lain di sebelah kiri. Saya lewat pintu yang sebelah kanan karena pintu keluar sebelah kiri sangat penuh dengan penjemput.

Saya langsung lari menghampiri Bapak, Bapak terkejut.

Dan merasa kalah dari adik, karena dia bisa menemukan saya lebih dulu.

Kami tertawa, lalu melanjutkan perjalanan ke Magelang, dan alhamdulillah sampai dengan selamat pukul 12:30 WIB.

Jadi, apakah perjalanan selama 21 jam dengan dua kali transit dan menunggu 8 jam di bandara Soekarno-Hatta ini worth it???

IYA

Apakah saya menikmati perjalanan ini?

IYA, capek memang, tapi banyak hal yang bisa dipelajari, dinikmati. Terutama pemandangan langit dan kota-kota atau laut di bawah selama terbang.

                                                                ***

Saya sedang membaca buku (yang belum selesai) yang ditulis oleh Mark Manson. Salah satu pesan yang saya ambil adalah, hidup itu tidak selalu menyenangkan. Hidup itu lebih banyak enggak enaknya, lebih banyak prosesnya daripada titik akhir suksesnya. Jadi proses sama enggak enaknya itu harus dinikmati juga, kan? Karena kita enggak tahu kapan bisa sukses atau kapan hal yang diinginkan bisa kecapai. Sama dengan perjalanan pulang kali ini. Perjalanannya panjang, transit dua kali, menunggu di Jakarta juga lama. Dalam keadaan puasa. Tetapi, ternyata banyak juga hal yang bisa dinikmati selama perjalanan, dan lelah selama perjalanan itu langsung hilang ketika saya melihat adik saya melambaikan tangannya di antara para penjemput. 

Sebelumnya, saya pernah ditanya oleh seorang teman.

“Nurma, lab life kamu kayaknya taihen (大変, berat/susah)  banget? Kok bisa ngejalanin?”

Aku jawab,

“iya, taihen, banget. Tapi hidup kan taihen terus, mau pilih kehidupan yang kayak gimanapun juga pasti taihen, jadi aku pilih yang ini, karena walaupun taihen, aku suka, aku bersyukur.”

Teman-teman hidupnya juga taihen? Tenang, semua orang hidupnya taihen kok, kita semua nakama, kecuali yang emang udah kaya dari lahir. Jangan lupa istirahat, makan teratur yang bener, sama banyak minum air yaa.  

 


Comments