We Live on Our Own Timeline

31 Maret 2023

 

Tahun 2023 ini, umur saya akan menginjak penghujung dua puluhan. Tahun depan, insya Allah umur saya akan masuk kepala tiga. Sejak lulus S1 dengan overtime dan lanjut studi ke Jepang, saya berusaha untuk tidak mengingat berapa umur saya dan hanya fokus dengan apa yang saya kerjakan. Saya berusaha untuk menghindari melihat insta story orang lain, supaya tidak membanding-bandingkan capaian orang lain dan apa yang sudah saya capai di umur yang sama. Karena saya adalah orang dengan kepercayaan diri yang rendah, kalau membanding-bandingkan dengan capaian orang lain, saya bisa merasa tertinggal.

 

Misal, orang lain sudah punya pekerjaan tetap, menikah, dan punya anak.

 

Saya jadi insecure begini mungkin karena efek sedang menjalani studi Doktoral, yang memang sebagian besar mahasiswa jenjang Doktoral itu rentan depresi. Jadi yasudah, saya hanya perlu menghindari informasi-informasi dari media sosial orang lain yang tidak perlu.

 

Dan saya percaya, setiap orang punya timeline yang berbeda, masalah yang berbeda, perjuangan yang berbeda. Bahwa hidup itu bukan lomba lari, bahkan garis finish tiap orang pun berbeda-beda.

 

Ada yang sudah menikah, tapi sering sekali bertengkar dengan pasangannya terus curhatnya di media sosial (please stop, kalau bertengkar selesaikan berdua di rumah dong jangan dibawa ke media sosial). Ada yang sudah punya pekerjaan tetap dan sering show off di media sosial tentang pekerjaannya, tapi saya accidentally dengar dari orang lain kalau dia banyak mengeluh tentang pekerjaannya. Dan lain-lain.

 

Then, there was something that hits me hard.

 

Saya sedang dalam perjalanan dari Nagoya ke Tokyo untuk ikut conference, ketika saya mendapat kabar bahwa teman dekat saya ketika SMA, meninggal.         

 

Iya, meninggal.

 

Innalillahi wainnailaihi raji’uun.

 

Saya kaget, rasanya campur aduk. Saya ingin berduka, tapi kondisi sedang dorong-dorong koper ganti kereta subway ke shinkansen, harus beli tiket, harus beli makan siang, harus cek dimana platform shinkansennya dan shinkansen mana yang harus dinaiki. Badan dan otak saya hectic, tapi hati saya ingin berduka.

 

Ketika saya mengabarkan kabar duka ini ke salah satu whatsapp group, teman-teman saya yang lain ikut kaget. Katanya almarhum beberapa hari lalu masih update insta story, masih beraktivitas seperti biasa. Saya menjelaskan ke mereka kalau sekitar tiga hari sebelumnya almarhum masuk rumah sakit karena pendarahan otak yang disebabkan hipertensi yang dideritanya. Apakah hipertensinya sudah lama? Saya tidak tahu. Teman-teman langsung berkoordinasi dengan saya untuk kirim karangan bunga dan uang duka. Setelah itu kami saling mendoakan semoga teman-teman yang lain tetap sehat.

 

Teman saya yang meninggal ini, akhir tahun 2021 lalu, baru saja menikah. Baru seneng-senengnya. Lalu hati saya berkecamuk, bagaimana perasaan istrinya?

 

Lalu saya ingat kata-kata ibu saya:

 

Menungsa kui mung sakdremo nompo.

Manusia itu hanya sekedar menerima (apapun yang diberikan/ditakdirkan oleh Tuhan).

 

Dan teman saya itu, sudah mencapai garis finishnya, jauh lebih cepat. Semoga dia tenang disana. Semoga dosanya diampuni, semoga amal ibadahnya diterima. Aamiin.

 

Sambil melihat pemandangan luar dari jendela shinkansen, saya merenung. Bahwa saya tidak perlu iri atau dengki dengan apa yang orang lain punya atau capai (especially dengan yang sudah menikah), karena semua itu ada waktunya. Saya percaya, rezeki dari Allah tidak akan pernah meleset, akan datang tepat waktu. Dan bahwa saya tidak boleh sombong, harus tetap rendah hati saat memiliki atau mencapai sesuatu.

 

Karena hidup ini hanyalah titipan yang perlu disyukuri, yang nantinya akan kembali kepadaNya.





Comments