Teman
Akhir-akhir ini, saya sering sekali melihat teman-teman Instagram saya posting foto mereka yang sedang berkumpul dengan teman-teman dekat mereka, yang beberapa dari teman dekat itu, saya mengenalnya.
Saya, iri.
Saya tidak menyalahkan mereka, tidak sama sekali. Ini adalah masalah yang terjadi dalam diri saya, jadi abaikan saja.
Sejak saya kecil, saya diajari untuk tidak nge-geng ketika berteman. Banyak orang tua (saat itu), bilang kalau punya banyak teman, tanpa nge-geng, tanpa punya circle tertentu, itu lebih baik. Image mereka tentang geng atau circle pertemanan itu banyak yang tidak baik, identik dengan melakukan hal yang tidak baik juga. Sampai ketika dewasa, saya merasa iri dengan orang-orang yang masih bersahabat baik dengan teman satu circle mereka, yang bahkan circle nya sudah sejak SMP, SMA, atau awal-awal tahun kuliah.
Tetapi, ketika saya random scrolling di media sosial, saya sering menemukan cerita-cerita tentang circle pertemanan ini. Ternyata dalam circle pertemanan pun, ada juga circle yang toxic. Misal didepan baik, tapi ketika salah satu member enggak hadir, di-ghibahin dibelakang. Atau there is that one friend yang sering pinjem uang tapi enggak dibalikin. Dan lain-lain.
Jadi, punya circle pertemanan itu kayak gacha kali ya? Alhamdulillah kalau temennya baik dan asik semua. Kalau ada yang toxic ya hazure dong.
Masa kecil saya dihabiskan dengan main bareng teman-teman yang tinggal di perumahan/asrama TNI-AD di Magelang. Karena di perumahan TNI-AD tempat saya tinggal ada banyak bocah yang seumuran dengan saya, saya punya banyak teman, banyak sahabat, bahkan ada yang sampai saat ini pun, masih berkomunikasi. Karena masih bocah, kami belum tahu tentang geng atau circle dan belum punya banyak masalah, jadi teman atau sahabat saat itu ya teman main. Kami main tiap sore, main permainan tradisional saat itu, jalan-jalan ke tempat yang agak jauh di hari minggu pagi, hingga berkumpul di rumah salah satu teman buat main Nintendo/PS. Ah, good old days.
Too attached with each other, kami dihadapkan pada kenyataan, bahwa perumahan/asrama TNI-AD adalah tempat tinggal sementara. Keluarga harus pindah ketika ayah pensiun dari TNI-AD, atau ketika sudah punya rumah baru. Eventually, satu persatu teman saya pindah. Eventually, kami mulai masuk SMP dan makin sibuk, mulai tidak berkomunikasi. Saya ingat sekali ketika saya akhirnya diizinkan berkunjung ke rumah sahabat saya yang pindah ke kota sebelah. Kami ngobrol banyak hal, jalan-jalan, jajan-jajan, hingga menyewa komik untuk dibaca bareng. Rencana saat itu adalah saya hanya berkunjung, dan akan dijemput ayah saya saat sudah sore hari.
Then she said
“kenapa enggak nginep aja?”
Saya, yang anak didikan strict parents ini rasanya kayak disetrum dengan kata-kata yang keluar dari mulut sahabat saya ini. Saya enggak pernah kepikiran buat nginep, diizinkan main saja sudah bersyukur.
Teman saya ini bahkan sampai menyiapkan baju ganti buat saya karena saya enggak bawa baju ganti. Saya happy yet excited, mungkin ini akan jadi pengalaman sleep over saya yang pertama.
Tapi ketika dijemput ayah dan saya minta izin, saya dimarahi. Kami pulang. Saya nangis dalam diam. Then with that, we say goodbye to each other, tanpa saya tahu, kalau hari itu adalah pertama dan terakhir kesempatan saya main ke rumahnya (so far), karena kami hampir tidak pernah bertemu lagi hingga SMA atau hingga kuliah.
Saat SMP, saya berhasil punya banyak teman, bahkan teman dekat. Tidak hanya di sekolah, tapi juga di tempat latihan salah satu cabang olahraga yang saya ikuti. Banyak hal menyenangkan terjadi, dan saya merasa kembali punya kepercayaan dan harapan, semoga kali ini, ada yang bisa bareng-bareng hingga waktu yang lama, atau ada yang bisa membuka hati saya untuk 100% terbuka dengan mereka. Karena saya saat itu enggak jago baca situasi, something happened, dan bahkan saya enggak tahu saya salahnya dimana. Saya diajak ngobrol, dan dikasih tahu kalau saya melakukan kesalahan (yang bahkan kalau dipikir-pikir sekarang, itu bukan suatu kesalahan).
Kaget kalau ternyata saya diomongin dibelakang, saya menjauh. Setelah itu, beberapa sahabat yang saya dekat banget malah beda SMA, terus beda Universitas. Ikatan buat menghancurkan ‘tembok’ beda sekolah juga kurang kuat, kami saling menjauh, in a good term.
Di SMA, saya punya teman dekat lagi, beberapa. Tapi pada akhirnya, kedekatan kami memang hanya sebatas teman, tidak sampai yang jalan-jalan bareng, makan bareng. Ditambah, suatu hari, saya dapat masalah besar, diakibatkan teman saya yang mengatakan sesuatu dibelakang saya ke orang tua saya. Feeling betrayed, terus punya trust issue, saya mulai enggak mau lagi too attached to anyone. Lupakan harapan punya circle seru dan sefrekuensi, punya teman yang tulus temenan sama saya aja alhamdulillah. Semoga selama ini saya enggak pernah nyakitin mereka, semoga.
Ketika kuliah S1, saat orientasi, malah dihimbau untuk enggak bikin circle pertemanan. Like, setiap orang pasti punya tendensi, kecenderungan. Punya kebutuhan untuk bisa bareng teman-teman yang bisa kuat kesana kemari bareng kita, manusia yang banyak egonya ini. Pasti, cenderung berkelompok. Saya berusaha buat bisa berteman sama banyak orang (again), hingga pada akhirnya merasa nyaman dengan salah satu circle.
Hingga di tahun terakhir kuliah, salah satu member betrayed me. Masalah ini tidak ada hubungannya dengan teman yang lain, tapi masalah ini besar di lingkup departemen/jurusan.
Kaget (again).
Butuh beberapa waktu untuk memaafkan, tapi akhirnya ya dimaafkan, walaupun enggak bisa dilupakan.
Ketika tiba di Jepang dan bertemu teman baru, saya seperti berlatih me-reset diri saya, betul-betul memulai lagi dari nol. Saya sangat berhati-hati, supaya saya bisa fit in, bisa diterima, tidak merugikan orang lain. Saya jadi punya teman-teman yang tulus, yang betul-betul bisa saya anggap sahabat. Saya bahkan bertemu dengan mahasiswa dari Indonesia juga yang bisa membuat saya open up lagi. Saya sangat bersyukur.
Then something hits hard.
Their graduation.
Both labmates, dan teman dari Indonesia tersebut.
Baru kali ini saya feeling empty, after someone’s graduation.
Saya bahkan baru kali ini berharap saya bisa ketemu mereka lagi, setelah graduation.
People indeed come and go, but the memories will stay.
Setelah menjalani hidup di Jepang, saya belajar bahwa saya harus bisa nyaman dengan diri sendiri. Belajar independen, kalau ada keadaan darurat, tahu apa yang harus dilakukan, tahu kepada siapa meminta tolong, dan tahu apa yang diinginkan diri sendiri. Tahu apa yang ingin dilakukan di waktu senggang, tahu apa yang ingin dimakan, tahu buku apa yang ingin dibaca, tahu anime apa yang ingin ditonton.
Lalu belajar untuk tahu, apa yang ingin dilakukan, dituju, dan dicapai untuk beberapa tahun kedepan.
Karena sekarang bagi saya, adanya diri sendiri, beberapa teman dekat, dan keluarga (baik keluarga saya sekarang maupun dengan keluarga saya sendiri nantinya di masa depan) sudah cukup untuk membuat saya tidak kesepian.
Teman (yang tulus), itu bonus yang sangat perlu disyukuri.
Lalu, apakah saya masih iri dengan orang-orang yang posting di Instagram dengan bestie-bestienya?
Well, menyembuhkan penyakit hati
perlu waktu, tapi saya belajar untuk tidak iri.
PS.
Untuk teman-teman saya (dan yang
menganggap saya teman) dimanapun berada, semoga kalian sehat selalu. 😊
Halo Kak Nurma salam kenal. I've been reading all your blog since in 2022 dan ga kerasa udah 2024 aja. Cerita kakak tentang perjalanan mendapatkan beasiswa di Nagoya University bener-bener membantu aku di masa itu yang mana juga sedang berjuang mencari beasiswa. Makasih banyak kak sudah memberikan banyak cerita terkait kehidupan sebagai mahasiswa di Jepang. Aku akan selalu menanti cerita dan pengalaman kakak selanjutnya hehe^^
ReplyDeleteHai! salam kenal juga. Terima kasih sudah membaca blog saya, saya terharu sekali karena ternyata ada yang baca. Semoga bermanfaat. jangan sungkan ya kalau ada kritik saran, atau tanya-tanya tentang beasiswa. Semoga apa yang kamu usahakan tercapai, semoga dilancarkan urusannya. Good luck!
Delete