Lanjut Studi di Luar Negeri (Baik Master maupun Doktoral), Is It Worth It?

Saya pernah membaca status update seseorang, tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali, dari orang yang sama, tentang keinginan dia untuk sekolah ke jenjang S2 dan S3 (Master dan Doktoral), di luar negeri. Dia juga menulis tentang beasiswa ini itu, bingung ingin studi di negara X atau Y, bahkan membeberkan rencana dia yang seolah-olah lancar sekali tentang sekolah, lalu bekerja di tempat tertentu, lalu setelah itu, begini begitu. Saya tahu itu hak dia untuk mengekspresikan keinginan atau rencana-rencananya, dan mungkin saya yang salah karena saya yang terlanjur “melihat” tulisan itu.


Tetapi, saya annoyed.


Beasiswa tidak semudah itu didapatkan. Untuk diterima program Master dan Doktoral pun juga tidak semudah kata motivasi yang diucapkan awardee di instagram reels. Baik untuk seleksi masuk program Master / Doktoral, maupun seleksi penerimaan beasiswa, teman-teman perlu menyiapkan banyak hal: waktu, tenaga, pikiran, dan UANG. Diantaranya, seritifkat TOEFL atau IELTS yang sangat mahal tesnya (saya tes TOEFL dari ETS satu kali tes 3 juta, untung saja sekali tes langsung mendapatkan nilai yang diinginkan). Lalu perlu disiapkan uang transportasi menuju tempat tes beasiswa, untuk mengirim banyak dokumen via pos, atau hal remeh waktu, tenaga dan pikiran untuk bolak balik ke kampus untuk legalisir ijazah dan minta tanda tangan surat rekomendasi. Teman-teman juga harus menyiapkan waktu ekstra untuk memilih jurusan yang sesuai dengan minat dan kemampuan, juga harus rajin mencari informasi kapan seleksi masuk universitas yang dituju.


Apalagi untuk lulus setelah diterima Master atau Doktoral, juga tidak semudah itu. Selain itu, harus adaptasi dengan kehidupan di negara tujuan. Apalagi kalau negara tujuan studinya jauh, pasti harus merencanakan dari jauh-jauh hari untuk beli tiket pulang ke negara asal saat libur. Ditambah jika muslim adalah agama minoritas, harus bisa mengatur jadwal antara ibadah dan kegiatan terkait dengan studi, dan harus paham betul tentang makanan yang haram dan yang halal supaya bisa menjaga untuk tetap makan yang halal.  


Kalau kamu memang ingin melanjutkan studi di luar negeri, you need to be ready for it. Physically, mentally, financially.


Masalahnya, is it worth it?


Untuk tahu apakah studi lanjut ke luar negeri baik jenjang Master maupun jenjang Doktoral itu worth it atau tidak, saya akan menulis tentang perbedaan antara keduanya, dan prospek setelah lulus.


Ketika studi S1 (Bachelor), teman-teman diberi kelas yang masih fundamental/basic dan praktikum dasar untuk mengenalkan kalian tentang suatu bidang ilmu (misal saya jurusannya Kimia, ketika S1, saya belajar semua cabang ilmunya, yaitu Kimia Organik, Kimia Anorganik, Kimia Analitik, Biokimia, dan Kimia Fisik, tetapi hanya dasar-dasar pengetahuannya saja). Ketika nantinya ingin lanjut studi ke jenjang Master, kelas yang diberikan sudah mulai spesifik sesuai cabang ilmu yang dipilih. Pengetahuan yang diajarkan akan lebih dalam, yang harapannya bisa dipakai ketika melakukan riset. Kalau lanjut studi jenjang Master di luar negeri, terutama di Jepang, waktu studi akan lebih banyak dihabiskan di laboratorium dibanding di kelas. Diharapkan, orang yang studi Master ini bisa menguasai cabang ilmu tertentu yang nantinya bisa dipakai ketika bekerja. Durasi waktu studi jenjang Master sangat singkat, hanya 1 – 2 tahun (rata-rata 2 tahun, 1 tahun itu biasanya yang fast track dari Bachelor). Studi Master ini pressurenya juga enggak gedhe-gedhe banget, riset juga masih full guidance dari supervisor. Misal sambil main-main, haha-hihi, flexing di Instagram, jalan-jalan juga masih bisa kekejar kelulusannya.


Prospek pekerjaan setelah lulus Master juga sangat luas. Bahkan di Jepang itu, anak-anak lulus Bachelor itu biasanya langsung lanjut Master sebelum melamar pekerjaan. Di tahun pertama, mereka sudah ikut internship/magang di banyak perusahaan. Lalu ketika masuk bulan awal-awal tahun kedua, mereka sudah mulai wawancara kerja di beberapa perusahaan. Jadi perusahaan-perusahaan itu kompak buka lowongannya bareng di season yang sama. Beda banget kan sama Indonesia yang tiap perusahaan buka lowongannya waktunya beda-beda, dan kebanyakan lulus studi dulu baru job hunting. Ini ada plus minusnya. Kalau di Jepang, misal enggak dapat perusahaan yang diinginkan ketika job hunting tahun itu, pilihannya hanya nrimo keterima di perusahaan apapun yang menerima dia, coba job hunting tahun depan, atau langsung lanjut program doktor, baru setelah itu job hunting lagi ketika Doktor tahun kedua. Kalau di Indonesia kan bisa mendaftar kapan saja, bisa resign kapan saja lalu pindah ke perusahaan lain kapan saja.


Kalau teman-teman studi lanjut ke luar negeri jenjang Master, karena hanya dua tahun, teman-teman masih bebas punya banyak waktu untuk memilih mau kerja di negara tujuan atau kembali ke Indonesia. Pilihan pekerjaannya pun masih banyak, bisa ke industri, akademia, atau ke lembaga pemerintahan. Saya kurang tahu, tapi sepertinya kalau masih lulusan Master, perusahaan-perusahaan besar masih mau menerima dan memberi gaji yang oke, jadi enggak overqualified. Banyak juga orang-orang yang kerja dulu, baru untuk promosi jabatan mereka lanjut Master terus nantinya setelah lulus balik lagi ke perusahaan tersebut.


Nah, sekarang, masuk ke bahasan Doktor. Tulisan saya bakal tiba-tiba jadi dark dan banyak waruguchi (悪口) di bagian ini, jadi mohon disiapkan mentalnya.


Program Doktoral, terutama di luar negeri, terutama di Jepang, tidak untuk manusia lemah.


Kenapa?


Pertama, durasi studinya lebih lama dari Master, paling cepat tiga tahun, paling lama enam tahun. Durasi studi yang dihabiskan dari Bachelor sampai Doktor ini kejar-kejaran sama umur sendiri, karena peluang dan prospek kerja akan makin sempit dengan bertambahnya umur. Kedua, masalah finansial. Beasiswa untuk jenjang doktor ini jumlahnya lebih sedikit daripada untuk Master, apalagi yang ngasih sekalian sama uang riset pertahun selain uang studi dan biaya hidup. Mana saingannya juga banyak. Sebagian besar beasiswa atau fellowship juga hanya sampai tahun ketiga studi, jadi kalau studi doktornya overtime lebih dari tiga tahun, nanti harus cari beasiswa lagi. Ketiga, risetnya lebih susah, dituntut independen ngerjain risetnya, masalah stuck dan problem ketika ngerjain eksperimennya juga banyak banget, harus belajar lebih lama dan lebih banyak, diminta nulis artikel ilmiah dan kalau bisa, dipublikasikan di jurnal yang impact factornya masya Allah tinggi sekali. Keempat, ekspektasi yang dibebankan sangat tinggi, tuntutannya tinggi, tanggung jawabnya tinggi, ditambah sering diminta ngajarin anak-anak Master atau Bachelor berkaitan dengan kelas, eksperimen atau penggunaan equipment.  Kelima, ketidakpastian akan masa depan. Boro-boro mikir tentang setelah lulus doktor mau stay di negara tujuan studi atau pulang ke Indonesia, yang dipikirin justru ini bisa lulus tepat waktu apa enggak. Banyak mahasiswa-mahasiswa doktor yang akhirnya drop out, bahkan bunuh diri. Peluang kerja setelah doktor pun lebih sempit daripada lulus jenjang Master. Misal pulang ke Indonesia, peluangnya lebih banyak di akademia atau badan riset pemerintah, karena banyak perusahaan yang menganggap lulusan doktor overqualified dan enggak bisa ngasih gaji yang sesuai (padahal misal jadi dosen baru di Indonesia pun, gajinya juga ehm rendah enggak tinggi). Kalau misal memutuskan stay di negara tujuan studi, mungkin peluang kerjanya lebih banyak ya, soalnya kalau mau ke industri atau perusahaan yang besar, mereka masih dengan senang hati menerima lulusan doktor, apalagi yang punya potensi lebih bisa jadi head atau atasan atau supervisor divisi. Peluang ke akademia juga banyak, karena lulusan doktor jumlahnya sedikit dan mungkin demandnya lebih banyak.


Jadi, apakah studi lanjut ke luar negeri itu worth it? 


Generally, menurut saya masih worth it kalau studinya Master, karena bisa mencicipi rasanya studi di luar negeri, sambil mencicipi datang ke tempat-tempat baru yang pengen dikunjungi, dan masih punya banyak waktu untuk explore mau kerja dimana.


Tapi kalau saya ditanya, apakah kamu ngerasa studi doktor itu worth it?


Saya akan jawab, IYA, WORTH IT banget.


I have my own adventure, hal yang hanya bisa saya rasakan selama ini ketika membaca novel.


I learned much, yet there's still so much to learn.  


Ketemu professor-professor yang hebat dibidangnya, bisa riset dengan topik yang sesuai dengan minat saya, ketemu banyak orang baru yang hebat-hebat juga, lalu dapat kesempatan berkunjung ke tempat-tempat baru tapi dibayarin (bisa keliling Jepang, ke Boston, tahun depan mau ke Hawaii). Ditambah karena saya studinya di Jepang, saya punya privilege bisa datang ke event-event anime, manga, games related yang saya sukai, atau bisa beli-beli barang anime, manga, games related yang saya sukai. Dan yang paling penting, uang beasiswa / fellowshipnya banyak, lumayan buat ditabung atau buat nraktir adik. 


Terakhir, program doktor adalah jenjang pendidikan tertinggi. How would you feel when you’ll get something that not all people can get it? It will feel awesome!


Dan saya pengen mempersembahkan gelar doktor tersebut, kepada bapak dan ibu.


Jadi, masih ingin lanjut studi di luar negeri?



PS:

Saya menemukan banyak sekali meme yang related dengan saya, mungkin related juga dengan teman-teman yang sedang studi lanjut. Saya pilih yang menurut saya paling lucu, jadi, enjoy!


Meme ini bener banget, terutama yang bagian supervisor. Seberapapun berjuang, banting tulang, kerja lembur bagai kuda, tetep aja dianggap not enough.




Ini juga bener banget, jadinya lebih wise, lebih bisa fokus sama apa yang dituju dan orang terdekat, udah capek ngurusin hal yang enggak penting, less social media yang isinya orang pamer, atau orang-orang yang memilih jalan hidup atau terjebak dengan jalan hidupnya terus ngeluh-ngeluh secara tersirat pakai postingan akun yang related dengan pekerjaan mereka. DAN ITU SERING. Please find orang terdekat atau teman yang kalian bisa ngeluh bareng. Tapi kalau saya yang komen begini pasti dibalas "gasuka skip aja, yang posting kan bebas mau posting apa". Okay fine, saya yang ngalah untuk memilih enggak lihat aja, hehe.



Exactly. The pressure, the "to do list" yang banyak sekali, the uncertainty, the expectations, the limited time.



Dia yang kejar-kejar suruh cepet, dia yang tiba-tiba pengen high impact factor, gue yang eksperimen, gue yang mikir gimana bisa dapat data, gue yang nulis, giliran udah dikirim ke dia, dianya tiba-tiba jadi sibuk sendiri sampai draft gue belum kesentuh. Itu beberapa bulan lalu sih, ini kayaknya lagi direvisi dan mau submit. Bismillah.

Oh bukan, ini bukan disertasi, ini paper. Disertasi mah paling nulisnya nanti H-1 bulan, sama kayak Master thesis kemaren. 



Ohhh jadi nanti kalau saya belum bisa menemukan pekerjaan setelah lulus, saya ada peluang jadi member AVENGERS?? Yosh!  




Pinter itu nilai plus plus, justru yang paling penting adalah stress management, anger management, dan survival skills.



Banyak banget PhD candidate yang relate sama meme ini katanya, saya enggak ya, saya mah results ada terus, hueheheh *flexing.



HAHAHAHAHAHAHAHHAHAHAHAHHAHAHAHAHAHHAHAHAHAHA  


  



Besok kalau udah punya rumah sendiri, first publication kemarin mau saya figura. Mana high impact factor lagi huehehe *flexing lagi. 
  


Sering banget enggak bisa liburan dengan tenang, gara-gara guilty kerjaan masih banyak. Untung ada teman yang berisik banget ada aja yang diobrolin jadi saya terdistract dari voice inside my head


Sekian, terima kasih sudah membaca!



Comments