PhD Drama
Tanggal 23 Agustus 2024 lalu, saya mengikuti sidang untuk mendapatkan gelar doktor. Alhamdulillah sidang berjalan lancar, dan saya resmi bergelar doktor—gelar akademik tertinggi.
Apakah saya senang?
Banget
Tetapi, dibandingkan dengan rasa senang yang meluap, saya justru lebih merasa lega.
Lega karena bisa selesai tepat waktu, sementara banyak mahasiswa doktoral yang overtime, termasuk teman saya seangkatan di program G30.
Lega, karena akhirnya drama tentang perjalanan menuju sidang—yang mungkin bisa jadi series di Netflix atau jadi novel—ini tamat.
Dan di sini, saya mau cerita tentang drama itu. Drama saya hanyalah satu dari sekian banyak drama teman-teman yang menjalani program doktoral. Semoga ini bisa jadi acuan atau referensi teman-teman yang ingin melanjutkan studi ke jenjang doktoral, terutama di Jepang, biar bisa menyiapkan hati, pikiran, mental, dan fisik badannya.
Drama yang terjadi ketika menjalani studi doktoral ini dipengaruhi situasi di laboratorium tempat kita studi, tergantung di laboratorium ada jam kerja atau tidak, tema risetnya bagaimana, karakter Professornya bagaimana, membernya bagaimana, dan lain-lain. Kalau ada orang satu negara di laboratorium yang pengen dituju untuk lanjut studi, akan lebih baik kalau tanya-tanya dulu keadaan laboratorium dan karakter Professor-Professornya seperti apa.
Cerita saya ini bakal panjang, maafkan ya.
And this is my PhD drama.
Cerita ini dimulai setelah saya lulus Master bulan September 2021, dan langsung melanjutkan ke program doktoral. Topik riset ketika saya studi Master sudah selesai dan sudah published, jadi saatnya menentukan tema baru. Kami berdiskusi dan penentuan ini dipertimbangi beberapa hal: kebaruan ide, belum ada publikasi tentang riset tersebut, risetnya doable selama doktor, dan ada peluang hasilnya bagus. Topik riset ini juga kebetulan ada kolaborasi sama suatu Perusahaan, jadi sekalian aja gitu.
For your information, untuk lulus, saya harus publikasi setidaknya dua paper sebagai first author, tapi Professor saya mintanya tiga paper. Pengennya impact factornya juga menengah ke atas. Paper pertama kemarin terbit di Journal of Material Chemistry C (JMCC), impact factornya 8 koma sekian, lumayan lah ya.
Jadi selama setahun dari Oktober 2021 sampai Agustus 2022, saya ngerjain riset ini. Eksperimen tiap hari di weekdays sampai malam, kadang weekend juga masuk, tiap minggu ngumpulin report, sama ikut kelas karena di semester pertama ini ada kelas wajib yang harus diikuti demi dapat kredit. Sekitar bulan Juni 2022, kami semua mulai menyiapkan hasil riset kami untuk mengikuti conference yang akan diadakan sekitar bulan September.
Namun, sekitar bulan Agustus ketika saya latihan presentasi untuk persiapan conference, saya dimarahi. Katanya hasil risetnya tidak bisa dan tidak cukup untuk dipresentasikan di conference. Eksperimen selama satu tahun ini dianggap tidak memiliki hasil yang signifikan untuk dipresentasikan. Jadi tiba-tiba tema risetnya berubah arah, dan saya harus lembur selama satu bulan untuk mendapatkan hasil yang bisa dipresentasikan di conference bulan September. Pada akhirnya, saya lebih banyak menggunakan data dari satu bulan eksperimen daripada data dari satu tahun eksperimen untuk dipresentasikan di conference.
Padahal tiap minggu ngumpulin report, tiap semester presentasi progress report secara besar-besaran di lab, tapi kenapa pas mepet conference baru marah-marah terus ganti topik.
Setelah conference, saya lanjut mengerjakan eksperimen itu karena tujuan akhir risetnya jadi lebih jauh gara-gara ganti topik. Dari Oktober 2022 sampai Maret 2023, kegiatan sehari-hari diisi dengan eskperimen, nyari paper, baca paper, eksperimen lagi, datang ke kelas, datang ke seminar, analisis sampel, analisis data, ngolah data, bikin report, dan ngajarin anak-anak lab kalau dimintai tolong.
Di bulan Maret 2023, salah satu tujuan eksperimen saya akhirnya bisa tercapai setelah banyak (sekali) eksperimen dilakukan hingga lembur-lembur. Data hasil eksperimen ini langsung digunakan untuk conference domestik pada bulan Maret dan conference internasional di Boston bulan Mei.
Karena stress berat dan kebetulan libur lebaran bersamaan dengan libur musim semi dan libur golden week, saya ambil libur untuk pulang ke Indonesia sambil menulis paper berdasarkan hasil eksperimen. Awalnya, ketika diskusi, kita sepakat untuk mau mengembangkan riset supaya hasil datanya lebih bagus dan lebih banyak, soalnya kita mau nyoba submit ke jurnal yang prestigious dan impact factornya masya Allah tinggi sekali. Jadinya saya enggak begitu “ngoyo” untuk nulis paper ketika pulang ke Indonesia, karena toh nantinya juga bakal dirombak karena akan ada banyak data baru yang lebih baik.
Terus, tiba-tiba, di bulan Juni, saya dimarahi lagi.
Katanya selama bulan April-Mei, saya seharusnya sudah selesai menulis paper.
Katanya, jurnal dengan impact factor yang masya Allah tinggi sekali itu, butuh kurang lebih satu tahun dari submit – review – revisi – publish. Saya direncanakan untuk lulus tepat waktu tahun depan, jadi seharusnya sudah mulai submit sejak tahun ini.
Katanya kalau papernya kurang (minimal dua), saya tidak bisa lulus, saya harus extend.
Saya, menahan segala emosi, bilang:
Katanya, mau lebih banyak eksperimen dulu untuk upgrade data secara kualitas dan kuantitas.
Katanya, dari sampel yang baru itu, mau sampai aplikasi yang lebih bagus. Dan eksperimen tambahan ini butuh waktu sekitar 2 bulan (kalau sukses, kalau enggak, ya sudah itu pikirkan nanti saja), setelah itu penerapan aplikasinya butuh kolaborasi dengan Professor lain dan rencananya mau dilakukan secepatnya bulan Agustus.
Akhirnya kami sepakat untuk mengerjakan eksperimen tambahan, sambil nulis paper, biar ketika semua eksperimen sudah selesai, paper juga sudah siap untuk di submit.
Kami juga sepakat untuk mengerjakan topik riset yang “lebih kecil” setelah persiapan paper kedua ini selesai, untuk submit paper ketiga sebagai cadangan kalau paper kedua ini butuh waktu lebih lama dan enggak bisa tepat waktu untuk dipakai untuk syarat kelulusan.
Diskusi, selesai.
Saya kembali ke ruangan saya, dengan satu pikiran.
Saya pengen nulis namanya di death note.
Terus langsung ke ruang eksperimen, lakukan apapun, apapun biar bisa lari dan enggak overthinking.
Fokus.
Terus pulang.
Nangis.
Hehe.
I am okay with lebih banyak melakukan eksperimen dibandingkan sebelumnya selama dua bulan kedepan.
I am okay with lebih banyak melakukan eksperimen sambil nulis paper selama dua bulan kedepan.
But I am not okay, ketika dia bilang saya enggak bisa lulus kalau target enggak tercapai.
Saya enggak berharap untuk publish di jurnal yang impact factornya sangat tinggi itu. I don’t even care as long as saya bisa lulus. I am okay with any journal walaupun impact factornya enggak tinggi.
I am also not okay dengan situasi ini karena SI KAMPRET ITU HANYA STRICT KE SAYA (dan satu mahasiswa doktor lain yang dari Jepang). Dia enggak se-strict itu ke mahasiswa-mahasiswa kampret dari negara X.
Dia, seenak sendiri berekspektasi tinggi, kita disuruh ngerjain sendiri tanpa diajarin, terus ketika enggak sesuai, marahnya ke saya.
WTF?!
Jadilah saya kerja lembur bagai kuda sampai bulan Agustus, sambil nulis paper, sambil mempersiapkan presentasi di conference domestik bulan September.
Sekitar akhir bulan September hingga awal Oktober 2023, saya sudah menyelesaikan draft awal paper dan mengirimkannya ke beliau.
Tapi, dia bilang kalau dia sibuk, jadi belum bisa baca draftnya.
Terus tiba-tiba dia jadi excited sendiri gara-gara Quantum Dots dapat Nobel Prize in Chemistry 2023. Padahal bukan dia yang dapat Nobel Prize.
Terus tiba-tiba dia jadi sibuk sendiri diundang wawancara sana-sini.
Again, bukan dia yang dapat Nobel Prize ya.
Jadi, sambil nunggu dia cek draft saya, saya mengerjakan topik riset baru. Topik ini sebenarnya enggak baru juga; sebelumnya sudah dikerjakan oleh mahasiswa yang sudah lulus. Tapi sepertinya belum selesai dan berpotensi jadi paper. Topik riset ini yang saya kerjakan selama sekitar 6 bulan ke depan, langsung nulis paper, terus submit ke jurnal yang so so saja biar cepat publishnya.
Setelah dia mulai enggak sibuk, sekitar bulan Januari – Februari dia mengecek draft saya. And it turned out banyak kesalahan baik di penulisannya maupun di pembuatan Figure-nya. Di fase ini sebenarnya banyak drama yang lebih intens terjadi, dan saya yang salah, sampai jadi benci banget sama diri sendiri, tetapi saya tidak akan cerita lebih detail.
Akhirnya, sekitar bulan Maret 2024, draft paper yang sudah dicek dan direvisi berkali-kali disubmit ke Journal of American Chemical Society (JACS), sebuah jurnal yang prestigious dengan impact factor yang tinggi (15). Kami menunggu sekitar dua minggu, lalu saya mendapat kabar kalau draft paper kami direject oleh JACS, dengan alasan kalau isi paper kami terlalu fokus membahas tentang suatu quantum dots materials dan aplikasinya, dan tidak general. Sedangkan pembaca JACS tidak hanya dari kalangan yang meneliti tentang quantum dots, tetapi juga banyak dari kalangan fundamental chemistry, chemical engineering dan applied chemistry yang lain, biological and medicine, dan lain-lain.
Dari pihak editor JACS, paper saya bisa ditransfer ke jurnal ACS yang lain, tapi jurnal yang direkomendasikan kebanyakan memiliki impact factor yang rendah. Karena masih ambisius, kami tidak ambil saran untuk transfer, tapi pindah untuk submit ke jurnal lain yang impact factor nya tinggi. Kami submit ke Advanced Materials, dengan impact factor 27.4. Kami menunggu beberapa hari, lalu mendapat kabar kalau paper kami direject, dan disarankan untuk transfer ke jurnal Wiley yang lain.
Tapi kali ini, salah satu jurnal yang direkomendasikan adalah Small, yang impact factornya sekitar 13, mendekati JACS. Kami memutuskan untuk mengambil rekomendasi transfer ke Small journal, dan menunggu review.
Sambil menunggu review dari Small, saya menulis paper yang ketiga, yang dijadikan cadangan kalau paper kedua reject lagi. Saya langsung ngebut menulis paper ketiga ini dari akhir April sampai setelah libur golden week (pertengahan Mei). Setelah berdiskusi dengan Pak Boss dan melakukan revisi berkali-kali, paper ketiga ini kami submit ke Electrochemistry sekitar minggu ketiga bulan Mei, dengan impact factor 2.7. Low end sih, tapi enggak apa-apa, yang penting saya bisa lulus.
Akhir bulan Mei, kami mendapat jawaban dari reviewer dan editor Small journal. Pertama saya baca komentar dari editornya. Editornya bilang kalau paper kami idenya bagus, pertama kali, belum pernah ada yang meneliti ini dan publish ini, dan ditulis dengan baik. Dipuji, bagus. Terus saya baca kalimat kedua. Katanya paper belum bisa publish dengan kondisi paper yang sekarang ini, soalnya masih banyak data yang kurang, masih banyak hal yang harus dikonfirmasi.
Reject.
Tapi, editornya bilang kalau kita sudah merevisi sesuai komentar dan saran reviewer, sudah menambah data, dan mengkonfirmasi beberapa hal yang masih rancu, nanti boleh re-submit dengan mencantumkan nama editor yang sama di cover letter. Dari reviewer pertama, hanya minor revision dan dibilang kalau papernya layak publish kalau sudah direvisi. Reviewer kedua dan ketiga yang strict. Ada banyak data yang harus ditambah, artinya masih harus eksperimen lagi, ada banyak yang perlu diperbaiki dibagian results and discussion. Long story short, sepertinya ini enggak nyampe kalau buat syarat lulus.
Jadwal sidang saya sekitar akhir Agustus.
Akhir bulan Juli saya harus sudah
mengumpulkan draft final disertasi saya.
11 Juli, saya harus pre-defense dan
harus sudah membuat presentasi untuk sidang.
Saya takut.
Saya khawatir.
Tapi ini sedikit lagi lulus, sayang banget sama
perjuangan jugkir balik salto kayang selama hampir lima tahun ini. Jadi, ya
kalau kata bapak, “jalani saja” (walaupun sambil nangis di pojokan kamar tiap
hari).
Alhamdulillah, awal Juni, jawaban dari reviewer untuk paper ketiga yang disubmit ke Electrochemistry datang. Ada lumayan banyak hal yang harus diperbaiki, dan data yang harus ditambahkan. Saya melakukan eksperimen untuk revisi paper yang ini, sambil melakukan eksperimen untuk revisi paper yang akan dire-submit ke Small, karena sudah terlanjur janji untuk memberikan sampel ke kolaborator awal Juni.
Karena deadline untuk mengumpulkan draft disertasi akhir Juli, saya juga mulai menulis draft di awal Juni ini. Terus, karena paper kedua belum publish, konten yang ada di paper kedua tidak bisa ditulis di disertasi, jadi konten disertasi hanya dari riset yang dilakukan untuk paper pertama dan ketiga. Semua first author? Iya, semua saya first authornya. Kalau enggak ya enggak bisa dipakai buat kelulusan. Jadi yang harus saya lakukan dalam satu bulan ini adalah eksperimen untuk revisi dua paper, merevisi paper itu sendiri, menulis disertasi, menyiapkan segala dokumen administrasi untuk kelulusan, dan lain-lain.
Enggak kok, saya enggak sampai suicidal thought, soalnya One Piece sama Hunter x Hunter belum tamat. Hehe.
Setelah kerja lembur bagai kuda, sambil jungkir balik salto kayang, saya bisa bikin sampel yang bagus, dan banyak, untuk dikirim ke kolaborator untuk eksperimen lanjutan demi revisi paper kedua (Small) di pertengahan bulan Juni. Eksperimen untuk dapat tambahan data untuk paper ketiga (Electrochemistry) yang sedang direvisi juga selesai. Yang perlu dilakukan selanjutnya adalah merevisi paper ketiga dari data yang didapatkan, nulis disertasi, sama bikin PPT buat pre-defense yang akan dilaksanakan tanggal 11 Juli 2024.
Saya bikin PPT buat pre-defense hanya selama 3 hari. Dengan catatan enggak dari nol ya, saya punya PPT dari conference dan progress report, dari PPT itu saya gabungkan dan disesuaikan untuk kebutuhan pre-defense, but still, waktunya mepet. Pre-defense dilakukan secara online, soalnya dosen penguji / reviewer juga sibuk. Tapi alhamdulillah lancar, walaupun ada banyak koreksi, setidaknya, sedikit demi sedikit, satu demi satu terlewati.
Setelah pre-defense selesai, saya lanjut merevisi paper ketiga sambil merevisi disertasi dan PPT buat sidang. Terus pas mau submit revisi paper yang ketiga (Electrochemistry), saya dibilangin kalau batas paper diterima (accepted) itu tanggal 27 Juli. Kalau sampai 27 Juli paper saya belum diterima sama Electrochemistry, saya harus extend dan tidak bisa lulus tepat waktu.
Reaksi saya sama kayak meme kucing yang “huh? Huh?” itu.
Saya sudah terlalu lelah untuk bisa marah atau sedih.
Saya cuma bilang,
“Okay.”
Terus saya pergi dari ruangannya.
Terus saya pengen banget nulis namanya di death
note, bukan yang 40 detik serangan jantung, tapi yang detail banget biar
dia suffering dulu.
Ini mah udah jalur langit. Saya sudah berusaha, dan akan tetap berusaha, sisanya pasrah. Yang penting sudah saya revisi, sudah submit lagi, tinggal menunggu.
Terus tanggal 21 Juli, saya dapat kabar kalau paper saya accepted di Electrochemistry.
Alhamdulillah.
Terimakasih untuk semua orang yang mendoakan saya, akhirnya saya dipastikan bisa lulus tepat waktu.
Saya juga bisa menyelesaikan disertasi sebelum tanggal 31 Juli, sudah mengurus segala dokumen untuk sidang kelulusan, jadi bisa istirahat sebentar sebelum sidang tanggal 23 Agustus.
Perfect.
Sidang juga lancar, saya hampir lupa hari itu gimana sidangnya, soalnya sudah sisa-sisa energi. Sudah titik darah penghabisan. Kayaknya presentasi sekitar 40 menit, terus sekitar satu jam sesi diskusi / tanya jawab.
Then I am officially a Dr.
Thank you to everyone who takes care of me,
keeping me in their prayers.
One page of acknowledgment in my thesis is not enough to express my gratitude.
Terima kasih juga sudah membaca tulisan yang panjang ini.
Sudah selesai ceritanya?
Belum,
sebagai catatan, cerita yang saya tulis di sini sudah “clean edit”,
soalnya kalau masih raw nanti banyak pisuhan, banyak derai air mata,
banyak kata-kata yang harus disensor, dan hal-hal detail yang tidak bisa
ditulis.
Sebenarnya selama studi doktor ini saya jadi chaos. Saya betul-betul membenci diri saya, dan ketika pengen berubah, susah sekali. I try to avoid mistakes, yet I keep making them. Saya tahu kalau menunda suatu pekerjaan itu enggak baik walaupun sekecil apapun, tapi tetap ditunda juga. Saya ngerasa capek physically and mentally, tapi mungkin bagi orang lain itu enggak cukup. I’ve reached a point where I don’t even know what steps to take next or how to tell right from wrong.
Terus, everyone has their own battle, so please be kind. Kecuali orang yang enggak berusaha tapi ngeklaim kalau berusaha, tapi enggak ada hasilnya atau hasilnya jelek atau hasilnya kurang buat dijadiin paper tapi malah nyalahin orang lain apalagi nyalahin supervisornya, orang kayak gitu marahin aja. Atau tulis namanya di death note.
Damn malah curhat.
Oh terus, kita enggak tahu ya kapan bisa sukses, atau bahkan mungkin kita enggak akan pernah sukses. Enggak tahu. Tapi punya mimpi sama cita-cita itu hal yang baik soalnya buat motivasi kalau pas ngrasa udah hampir nyerah. Mimpi yang bikin saya tetap bisa lanjut ngerjain walaupun badan rasanya sakit semua dan enggak bisa gerak adalah pengen ngajak Bapak, Ibu, sama Adek buat ke Jepang pas wisuda, ngajak mereka jalan-jalan, sama makan makanan enak di sini. Mereka sudah membuat paspor, sudah membuat visa, saya sudah pesan tiket pesawat dan hotel, sudah beli tiket Disneysea. Jadi, tidak ada pilihan lain selain selesai.
Dan mimpi itu, tercapai.
Hehe.
Jadi, dari studi doktor ini apa yang didapat?
Dari studi doktor, secara teoritis,
seharusnya levelnya naik dalam hal:
1. Independent research.
Seharusnya
sudah bisa latihan untuk literature review, menentukan tema riset yang doable
tapi hasilnya publish-able, sudah bisa latihan menentukan arah riset itu
mau kemana, metodenya gimana, analisis datanya gimana. Soalnya nanti kalau
sudah jadi dosen kan harus membimbing mahasiswanya, jadi biar mahasiswanya bisa
lulus tepat waktu dengan outcome yang bagus dan layak.
2.
Writing and communication skills.
Belajar buat
nulis paper dari data yang ada, bikin figure, pas nulis juga alur
cerita di papernya gimana, gimana biar enggak plagiat, belajar bikin PPT
atau poster buat conference, gimana biar PPT atau posternya gampang
dibaca dan orang-orang paham tentang riset kita.
3.
Teaching and mentoring.
Gimana
caranya ngajarin bocah-bocah mahasiswa yang pikirannya lebih banyak pengen main
mulu daripada belajar sama eksperimen.
4.
Management
Apapun. Time
management, anger management, project management, people management, etc.
Apa yang saya
dapat?
Mostly
anger management sama stress management.
Eksperimen
lebih banyak gagalnya daripada berhasil. Tipe Pak Boss ini amburadul sekali planningnya.
Intinya ngerjain banyak eksperimen, terus ngerjain sampai tepar sampai
dapat data yang bagus, baru bikin paper. Eh terus ternyata pas bikin paper
banyak yang kurang, jadi harus eksperimen ulang atau nambah ngerjain eksperimen
yang lain buat nyesuaiin alur cerita yang dibikin di papernya.
Poin lainnya
yang bisa dipelajari ketika studi doktor ya sedikit. Kebanyakan saya bisa
belajar hal yang lain justru dari Professor lain di lab, terutama assistant Professor,
bukan Pak Boss. Tapi saya bersyukur kok, soalnya lab ini termasuk yang high
end, jadinya tema risetnya juga bagus, equipment lengkap jadi bisa
langsung dapat data setelah sintesis, bisa nulis banyak paper, bisa collab
dengan Professor lain, kenalan jadi bertambah. Bisa jalan-jalan conference
baik ke kota-kota lain di Jepang atau ke luar negeri.
Terus, habis
lulus mau ke mana?
Belum tahu,
nanti ngikutin aja rezekinya di mana. Sementara lanjut postdoc selama
enam bulan di lab yang sama soalnya fellowshipnya bisa di upgrade
ke postdoc, dan masih ada tanggungan revisi paper terus submit
ke Small. Selama enam bulan ini saya akan sekalian job hunting.
Doakan ya!
Thank you
for bearing with my long story, semoga teman-teman juga dikuatkan untuk
menghadapi battle masing-masing. Jangan lupa makan yang bener, minum air
yang banyak, dan istirahat cukup ya!
P.S. Meme ini related banget sama perjalanan studi doktoral saya.
.jpeg)


Comments
Post a Comment