Those "Unfortunately" E-mails
16 September 2025
Ketika JSPS Postdoc fellowship saya akan
berakhir bulan Maret 2025, saya mulai mencari laboratorium baru di universitas
lain, karena saya tidak mau stay di laboratorium yang sekarang. Saya lelah, dan
saya khawatir dengan diri saya sendiri kalau tetap stay di laboratorium yang sekarang,
saya akan tetap depresi, takutnya nanti sampai suicidal. Ekstrim memang, tapi
memang separah itu damage yang saya terima.
Setelah mencari laboratorium dengan tema riset yang saya pengen, dibantu dengan Assistant Professor laboratorium saya, saya memutuskan untuk apply ke salah satu laboratorium di Tokyo University of Agriculture and Technology. Professor di lab tersebut bersedia menjadi host researcher saya selanjutnya, lalu kami akan apply JSPS Postdoc fellowship for international researcher. Saya juga akan apply fellowship lain untuk funding risetnya, yaitu AXCT-X dari JST. Saya menyiapkan research plan sesuai dengan topik riset lab host researcher, menyiapkan application form, lalu meminta recommendation letter dari Professor saya yang sekarang. Selanjutnya hanya perlu menyerahkan semuanya ke host researcher karena beliau yang akan submit secara online akhir bulan April.
Masalahnya adalah, setelah submit, kami harus menunggu sampai sekitar bulan Juli untuk tahu pengumuman ACT-X fellowship dan Agustus untuk tahu hasil seleksi JSPS PD. Selama menunggu pengumuman, saya seharusnya cek lowongan postdoc atau designated assistant professor di tempat lain lewat JREC-IN. Tapi saya saat itu dilema, bagaimana kalau JSPS juga lolos, dan misalnya apply di JREC-IN juga lolos, apakah tidak apa-apa untuk melepas salah satu atau lainnya?
Saya saat itu terlalu percaya diri, saya merasa research plannya bagus, paper ada, high impact factor pula. Professor saya lumayan terkenal, host Professor juga punya achievements, saya juga punya banyak achievements. I expected to pass.
Terus pada pertengahan bulan Juli, saya dapat pengumuman dari ACT-X fellowship, dan saya tidak lolos.
Terus pada awal bulan Agustus, saya dapat email dari host Professor tentang hasil seleksi JSPS PD fellowship:
“Although you got an A evaluation (top 20%), unfortunately, you were not selected. You need to get an S (top 10%) to pass”
Berarti saya tidak bisa bergabung ke laboratorium beliau semester depan, sedangkan visa saya akan expired akhir Oktober 2025.
Yabai.
Sedih, sumpah. Kalau dengan achievements yang banyak seabrek itu enggak lolos, siapa coba yang bisa lolos?
Dengan desperate saya cek lowongan di JREC-IN, dan mengirim e-mail ke Professor yang sebelumnya mengatakan sedang buka lowongan Postdoc.
Dari Professor tersebut, email saya dibalas:
“Thank you for your application.
I have looked over your CV and I am impressed with your achievements, good work and good publication list.
Unfortunately, the postdoc position of
our team for this year has been already occupied. Thus, our group does not
currently have any positions available.
I am sorry for the inconvenience.
Hope that you find a good research laboratory suitable for you soon.”
Yabai.
Di tengah-tengah ribet cari lowongan dan mempersiapkan application, saya konsultasi dengan Assistant Professor. Beliau tanya:
“Apa yang kamu pengen lakukan? Kondisi apa yang kamu pengen?”
Well, bagi saya, saya pengen riset tentang quantum dots. Saya pengen kerja dengan gaji yang sesuai dengan kebutuhan saya. Saya, pengen di universitas, terutama di universitas yang bagus…
“Kalau begitu, bukannya sudah tahu jawabannya? Bukannya jawabannya di depan mata?”
“Uhm…balik dan lanjut di lab yang sama…? HIS lab?”
“Sebelumnya beliau bilang kamu boleh kembali kalau kamu gagal JSPS, bukannya ini kesempatan yang bisa diambil..?”
“Uhh…well…”
Setelah berbagai pertimbangan dan menenangkan diri, saya mengirim email ke Professor saya, menjelaskan situasi saya, dan bilang apakah boleh riset di labnya lagi mulai Oktober karena visa saya akan expired.
Saya sudah tidak peduli lagi, ketika sudah berusaha tapi gagal, dan saya juga merasa bodoh sekali karena tidak mencari lowongan lain, ini adalah solusi terbaik. Daripada pergi ke universitas yang “low rank” sedangkan untuk awal karir di bidang akademik, tempat awal karir itu penting, ini adalah jalan keluar terbaik. Nothing matters anymore.
Beliau membalas email saya dengan cepat sekali, bilang OK, lalu menjadwalkan diskusi dengan saya.
Kami diskusi dua kali di hari yang berbeda, sebagian besar membahas tentang situasi saya, tentang jam kerja, gaji, rencana riset selama postdoc, dan rencana ke depan setelah postdoc. Saya bilang kalau rencana setelah postdoc, saya ingin menjadi Assistant Professor di universitas. Setelah diskusi yang kedua selesai, saya keluar dari ruangan beliau, kembali ke ruangan staff, lalu beres-beres karena mau langsung pulang, eh tiba-tiba dipanggil lagi sama beliau.
“Nurma-san, please come in again”
“Okay!”
“Are you really going to pursue career in
Japan?”
“Yes”
“That’s an important piece of information”, katanya sambil mengambil sesuatu
dari atas rak dekat jendela ruangannya.
“Why?”, tanya saya.
“I will give you this cactus”, katanya sambil menunjukkan kaktus kecil dalam pot.
OH wait, for your information, Professor saya ini suka banget sama kaktus/succulent. Dia dulu katanya dikasih kaktus sama Professornya dulu ketika jadi Assistant Professor di Hokkaido University, dan kaktusnya itu jadi besar banget, bercabang banyak, masih hidup di pojokan ruangannya. Karena beliau pindah dari Hokkaido University ke Nagoya University 20 tahun lalu, berarti kaktusnya juga umurnya 20 tahun! Whoaa.
Iya jadi dia sesuka itu sama kaktus dan se-careful itu nge-take care kaktusnya (tapi enggak take care ke staffnya, kan ironi ya, oops).
Nah kan saya jadinya kaget, bingung, enggak percaya gitu sampe nge-freeze dan gelagapan nanggepinnya. Karena SAYA ENGGAK PERCAYA GITU LHOO, kalau beliau bakal ngasih kaktus kesayangannya itu ke saya.
Setelah nge-freeze dan loading dan kepala
saya chaos dalam nol koma sekian detik, respon saya adalah:
“EHHH??? IS THAT OKAY?”
“Yes, this big cactus produced some new small
cactus, I took two of the small cactus and placed them in separate pots. This
one is about six months old, maybe. I will give it to you”
“EHH? But, I don’t have a good history of taking
care of cactus/succulents. I bought some, like, a few years ago, and after a few
months they are died… Is it okay? I am kind of worried.”
“Hahahaha, okay then just bring it to me
again if it’s dying”
“Hahaha, wait, okay. Would you tell me like, how to take care of it? Like, the right amount of sunlight, which one is better, direct sunlight or indirect? How often should I water it?”
Terus dia ngasih tahu tempat naruh yang baik, indirect sunlight lebih baik, terus ngasih airnya jangan sering-sering, kalau dia tiap Sabtu ngasih air, tapi tergantung musim, dan lain-lain.
Setelah itu saya pamit keluar dari ruangannya.
“Thank you, I will take care the cactus”, kata saya.
“Yes, see you in October”, kata beliau.
Jadi dia concern saya mau berkarir di Jepang atau tidak, nanya terus dari kemarin-kemarin, itu karena mau ngasih kaktus? Kaktus yang lebih penting bagi dia dari pada manusia-manusia sekitarnya? Ini beneran dikasih ke saya?
Sebelum pulang saya cerita sama Assistant Professor dan sekretaris lab, dan mereka kaget. Sekretaris lab bilang kalau mungkin Professor senang sekali saya lanjut kerja di lab beliau. Assistant Professor juga bilang hal yang sama, dan lebih mengejutkan lagi, katanya dia belum pernah ngasih kaktus sama sekali ke siapapun, mungkin saya orang pertama yang dikasih kaktus sama beliau. Ada Associate Professor yang dulu juga student lab ini, lalu lanjut jadi Assistant Professor dan Ascociate Professor, sekarang pindah ke universitas lain karena promosi jadi kepala lab di universitas tersebut, tapi sepertinya belum pernah dikasih kaktus sama Professor.
Perasaan saya?
Mixed feelings. Saya kaget, sampai sekarang juga masih enggak percaya saya dikasih kaktus. At least saya lega visa saya bisa diperpanjang dan saya bisa lanjut kerja di Jepang. Tapi saya juga khawatir kalau nanti enggak bisa memenuhi ekspektasi. Terus depresi lagi. Saya takut. Tapi saya akan belajar untuk enggak overthinking atau anxious, nanti fokus saja untuk mengerjakan kerjaan yang ada di depan mata. Tapi mungkin Allah Tahu hati kecil saya pengen tetap tinggal di Nagoya. Dan dibandingkan postdoc di tempat yang aneh-aneh atau enggak bisa riset quantum dots lagi, mungkin tempat ini adalah yang terbaik. Entahlah, kadang memang ada momen ketika walaupun sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi gagal. Yasudah tidak apa-apa. Nanti berjuang lagi, lalu, terserah Allah saja nanti hidup saya akan bagaimana, hehe.
Dan sepertinya, love-hate relationship saya dengan Professor masih akan berlanjut.
Doakan saya ya!
Terima kasih sudah membaca :’)
![]() |
Kaktus yang dikasih. Please, sehat-sehat ya kaktus. :') |
.jpg)


Comments
Post a Comment