Aku dan Kiki
7 Desember 2025
Saya sebenarnya sudah lama ingin menulis
tentang Kiki, kucing liar yang tinggal di sekitar kampus Graduate School of
Engineering. Tetapi karena sibuk dan hal lainnya, saya jadi belum sempat
menulis. Hari ini tiba-tiba ingin menulis tentang Kiki, jadi, ya, selamat
membaca.
Kiki adalah salah satu kucing liar yang saya temui ketika bertemu Fanfan (Fanfan juga kucing liar yang tinggal di tempat yang sama, ceritanya bisa dibaca di sini). Kalau Fanfan lebih sering stay di cat house yang disediakan dan leyeh-leyeh (santai-santai) di kawasan sekitarnya, Kiki lebih sering berpetualang ke tempat lain, dan hanya datang ketika jadwal makan sore dan makan malam/dini hari. Sebelum Fanfan diadopsi, kalau Kiki ketemu Fanfan, mereka pasti berantem. Fanfan enggak suka Kiki datang, Fanfan ingin semua perhatian manusia yang datang untuk dia sendiri. Fanfan si paling caper pokoknya. Sedangkan Kiki, dia cuma datang buat makan, minum, leyeh-leyeh dan istirahat sebentar, terus pasti pergi lagi entah kemana.

Kiki adalah kucing paling cool yang saya temui. Dia tidak peduli kalau Fanfan caper, tidak peduli kalau manusia-manusia datang memberi perhatian ke Fanfan atau mengelus-elus Fanfan. Kiki, kalau berantem dengan Fanfan, pasti menang, karena dia lebih kuat dan lebih fit dari Fanfan (iya bener, Fanfan lebih gendut maksudnya).
Kalau Fanfan adalah kucing caper yang suka kalau dielus-elus manusia, Kiki justru tidak mau dielus-elus, kecuali oleh beberapa orang yang memang kenal dan sudah lama ketemu Kiki. Kalau bertemu dan didekati oleh orang yang tidak dikenal, dia langsung lari dan bersembunyi.
Ketika saya pertama kali ketemu Kiki sekitar empat tahun lalu, misi saya hanya satu:
Saya pengen bisa elus-elus Kiki.
Saat itu, Fanfan suka caper duluan, jadi saya
hanya bisa melihat Kiki makan dari jauh, karena kalau saya mendekati Kiki,
Fanfan nanti ikut terus malah jadi berantem. Jadi ketika ada orang lain yang memberi
perhatian ke Fanfan, saya langsung PDKT ke Kiki.
Pendekatan pertama adalah dengan makanan. Dry food, wet food, sampai ngasih chuuru dilakukan.
Kedua, ketika dia makan, dekati pelan-pelan, kasih tanda kalau saya enggak berbahaya.
Ketiga, kalau aman dan Kiki enggak lari, elus-elus pelan kepalanya.
Dengan ketiga metode pendekatan ini, enggak sampai beberapa hari, Kiki mau dielus-elus.
Setelah PDKT dan akhirnya Kiki mau dielus-elus, saya bahagia.
Catatan: hasil yang didapatkan akan berbeda tiap orang walaupun menggunakan metode PDKT yang sama. Banyak yang pengen dekat dengan Kiki tapi Kiki selalu sembunyi. Jadi, saya mau bangga dan sombong di sini karena saya bisa dekat dengan Kiki dengan cepat.
Mengunjungi Fanfan dan Kiki menjadi kegiatan rutin saya setelah pulang dari lab ketika tidak lembur sekitar sore menjelang malam. Kalau lembur, saya kabur dulu dari lab, ketemu Fanfan dan Kiki, lalu kembali ke lab lagi untuk lembur.
Fanfan and Kiki’s existence have become one of the reasons I hold on to this life.
Lalu, suatu hari di Bulan Oktober tahun 2022, Fanfan diadopsi.
Jadilah hanya tinggal Kiki kucing liar yang tinggal di sekitar kampus Engineering. Karena Kiki tidak seramah Fanfan dan hanya datang ketika jadwal makan, orang-orang yang datang karena ingin ketemu kucing atau sekedar penasaran, tidak sebanyak dulu. Di saat bersamaan, ada satu orang baru yang sering datang ke tempat Fanfan dan Kiki biasa makan, kita sebut saja namanya S. Dia mahasiswa Doktoral di Information Engineering Program, foreigner dari negara C.
Kenapa saya memberitahu pembaca kalau dia dari negara C? Karena saya rasis. Hehe.
Anyway, sejak saat itu, hampir setiap hari saya dan dia ini yang sering ngasih makan dan ngajak main Kiki. Karena dia jam kerjanya lebih fleksibel, biasanya dia yang ngasih makan Kiki lebih dulu dari jam 5 sore atau jam sebelumnya. Karena saya ada jam kerja dan sering lembur, saya datang lebih sore, sekitar jam 6 ke atas. Kalau salah satu dari kami ada yang lembur atau enggak bisa ngasih makan Kiki, salah satu yang lain yang ngasih makan Kiki.
Biasanya, kami yang datang duluan ke tempat Kiki untuk memberi makan, lalu kami menunggu Kiki, karena kami tidak tahu kapan Kiki akan datang. Biasanya sekitar pukul 5 sore sampai 7 malam, tergantung musim. Soalnya kalau musim panas, siang hari lebih panjang, sedangkan kalau musim dingin, malam yang lebih panjang. Karena Kiki tidak tahu teknologi manusia yang bernama jam, dia masih mengandalkan matahari yang hampir terbenam sebagai jadwal makan sore.
Ohh saya lupa memberi tahu. Kiki sehari makan dua kali. Sore, dan dini hari. Dini hari biasanya Kiki dikasih makan Pak Sho (bapak-bapak dosen) atau Pak Nakamura (bukan dosen) yang tinggal di dekat kampus dan sudah memberi makan dan merawat kucing-kucing liar sekitar kampus Nagoya University selama lebih dari belasan tahun.
Seiring berjalannya waktu, justru Kiki yang lebih dulu datang terus leyeh-leyeh sambil nungguin babu-babunya datang ngasih makan. Baru saja saya tiba dan mau nyariin Kiki, dia sudah sadar duluan terus mengeong, seolah memberi tahu kalau dia udah menunggu saya. Seiring berjalannya waktu, kegiatan ini bukan hanya jadi rutinitas memberi makan Kiki, tapi juga bersantai bersama Kiki. Setelah makan, Kiki tidak langsung pergi, dia masih tinggal, dan duduk bareng saya. Saya duduk disebelahnya, mengelus-elus kepalanya, garuk dagunya, elus-elus punggungnya.
Duduk bareng Kiki menjadi semacam oasis bagi saya di tengah-tengah lelahnya studi. Bulunya lembut dan fluffy, soalnya makanannya memang makanan mahal. Saat dia purring, saya ikut jadi rileks. Eksperimen, report, kelas, seminar, meeting, diskusi, conference, paper, sampai pikiran tentang habis lulus mau gimana, semuanya sejenak menghilang dari kepala saya yang berisik ini.
Lalu suatu hari, ketika saya duduk dan dia
sudah selesai makan, dia menghampiri saya, lalu duduk dan tidur di pangkuan
saya.
He looked into my eyes, through my soul. He slow-blinked, then started kneading on my lap.
I cried.
Saya bersyukur diterima di sini. Saya bersyukur bisa studi di sini. Saya bersyukur bisa ketemu Kiki.

Sejak hari itu, Kiki jadi tinggal lebih lama setelah makan, sampai tidur lama dipangkuan saya, sampai kaki saya kesemutan, sampai saya yang jadi lapar karena sudah malam. Kadang, karena sudah saking laparnya, saya terpaksa memberi dia ekstra chuuru supaya bangun, supaya saya bisa pulang. Karena kami menyadari Kiki jadi lebih suka tinggal lebih lama di tempat biasa kami bertemu, Kiki dibelikan rumah kucing portable dan dikasih selimut di dalamnya. Supaya ketika hujan atau ketika musim dingin, Kiki punya pilihan tempat berteduh / tidur lebih banyak. Well, dia kucing liar, dan ada banyak gedung / tempat aman untuk berteduh di lingkungan kampus. Tapi setidaknya kalau dia habis makan terus hujan, atau ketika menunggu bapak-bapak yang memberi makan jadwal dini hari, dia bisa tinggal di rumah kucingnya itu.
![]() |
| Enggak boleh pulang |
Sekitar setahun lalu, supaya kami tidak terlalu lama menunggu dan bisa segera tahu posisi Kiki, Kiki dipasangi kalung leher yang dilengkapi AirTag. Dengan itu, kami bisa dengan mudah mengetahui posisi Kiki kapan pun melalui iPhone atau iPad.
Misalnya saat musim panas, karena matahari terbenam lebih lambat, sekitar jam 7 malam, meskipun kami datang pukul 5 atau 6 sore, Kiki biasanya belum datang ke tempat biasa kami memberi makan. Soalnya, bagi Kiki yang tidak tahu bahwa itu sudah jam 6 sore, dia merasa belum waktunya datang karena belum senja. Dalam situasi seperti itu, kami tinggal lihat iPhone/iPad, dan langsung tahu posisi Kiki.
Saya sering datang lebih awal, dan Kiki biasanya belum muncul, jadi saya cek lokasi AirTag-nya. Kiki sering berteduh di bagian belakang Gedung kuliah Graduate School of Humanities, sekitar 100 meter dari Graduate School of Engineering. Jadi saya tinggal berjalan dari Graduate School of Engineering Building 3 ke arah timur, menyeberang jalan, lalu lurus melewati jalan di antara Perpustakaan Pusat dan lapangan kecil (ground). Setelah menyeberang jalan lagi, sudah sampai di kawasan Graduate School of Humanities, Education, dan Literature. Di antara Gedung Graduate School of Humanities dan kawasan gedung untuk kuliah, ada belokan jalan menuju Family Mart. Nah, sebelum Famima itu ada jalan kecil yang mengarah ke bagian belakang Gedung Graduate School of Humanities. Di bagian belakang gedung tersebut ada beranda/balkon yang langsung dibatasi pagar tanaman yang tebal dan tinggi, jadi pasti teduh.
Tinggal panggil namanya,
“KIKIIIIIIII”
Dia pasti langsung menjawab,
“Meoooooooong“
Setelah stretching sebentar dia turun dari balkon sambil mengeong. Langsung menghampiri saya dengan ekor menjulang ke atas. Dia langsung rubbing kepala dan badannya ke kaki saya ber-ulang-ulang sambil mengeong. Lalu, kami jalan bareng kembali ke Gedung 3 Graduate School of Engineering melewati rute yang sama saat saya datang menjemputnya. Dibilang jalan bareng juga enggak bisa. Soalnya kan Kiki langkahnya kecil, jadi saya harus jalan pelan-pelan. Rasanya kayak jalan bareng Pikachu, lucu. Hehe.
Saya, pengen seperti ini terus. Pengen tinggal di momen ini terus.
Setelah sampai di beranda lantai satu gedung 3, saya ngasih air minum, ngasih makan. Sambil dia makan, sambil saya beres-beres menyiapkan karpet puzzle kecil-kecil yang bisa dirakit, untuk dipakai duduk sila di beranda tersebut.
Saya duduk, menunggu Kiki makan.
Setelah selesai makan, dia langsung ke
pangkuan saya, kneading, duduk, tidur.
Saya mengelus-elus kepalanya, terus Kiki purring.
Dengkuran kiki, membuat saya tenang.
Sambil mengelus-elus kepalanya, saya sering cerita ke Kiki apa yang saya alami atau apa yang terjadi hari itu. Saya bahkan pernah menangis sambil cerita ke Kiki, kalau saya lelah.
Dia hanya melihat ke saya, seolah make sure kalau saya akan baik-baik saja.
Musim berganti, tahun berganti.
Lalu di penghujung tahun 2024, timbul diskusi tentang apakah Kiki lebih baik diadopsi atau tetap dibiarkan liar tapi dirawat seperti ini, karena tahun 2025, S akan lulus, dan saya juga belum tahu akan tetap di Nagoya University atau akan pindah. Yang biasa merawat Kiki ada empat orang, Prof Sho, salah satu dosen di Nagoya University, Pak Nakamura, bapak-bapak yang sudah merawat kucing-kucing sekitar kampus sejak belasan tahun yang lalu, saya, dan S, mahasiswa doktor.
Karena saya masih akan stay di Nagoya dan S belum lulus dan masih job hunting juga, saat itu diputuskan untuk Kiki tetap dirawat seperti sekarang. Lalu suatu hari di bulan Juni 2025, S bilang ke kami kalau dia akan pindah Tokyo, dan mau mengadopsi Kiki untuk sekalian dibawa ke Tokyo.
Saya tahu berita ini akan datang cepat atau lambat, tapi saya juga ingin mengadopsi Kiki. Atau, mungkin lebih baik Kiki dibiarkan bebas seperti saat ini karena sudah terbiasa tinggal dan berpetualang di sekitar kampus. Saya khawatir kalau Kiki diadopsi nanti enggak bisa jalan-jalan. Tapi saya juga khawatir kalau tetap dibiarkan bebas, nanti bagaimana ketika musim dingin atau ketika hujan deras.
Saya mulai merasa kalau S hanya ingin
memiliki Kiki buat dia sendiri. Pak Nakamura juga mungkin merasa enggan, tapi
entah kenapa pada akhirnya setuju, karena Kiki juga sudah berumur 14 tahun,
mungkin akan lebih baik untuk diadopsi dan tinggal di rumah.
Dan kalian tahu?
Si S ini bahkan beli rumah. Yes you hear that right, beli rumah! Di Tokyo! Rumah baru tiga lantai, plus se-isinya, se-perabotannya. Of course, uang orang tuanya. Dia studi juga dibayari uang orang tuanya, beli mobil juga dibelikan orang tuanya. Sebel memang.
Saya, sewa apato yang murah, hemat sana sini biar bisa menabung, and then ada orang yang enggak ngapa-ngapain juga udah banyak uangnya karena dia born rich.
Maaf, tolong abaikan yapping saya.
Jadi, hari adopsi ditentukan. Sekitar bulan September tahun 2025, Kiki akan diperiksakan ke Vet dulu, terus rencananya tinggal di rumahnya Pak Nakamura dahulu beberapa hari untuk adaptasi sambil nunggu Si S settle dan nge-set-up ruangan khusus buat Kiki di rumahnya.
Hari-hari sebelum adopsi, saya jadi melancholy, sedih.
Setiap ketemu Kiki, saya jadi ingin ketemu lebih lama, enggak peduli sampai malam. Entah kenapa Kiki juga sepertinya menyadari kalau saya sedang enggak baik-baik saja. Walaupun ketika ada orang lain, tidurnya nyender saya, rubbing badannya ke kaki saya, sambil ngeliatin saya dan mengeong. Dia seolah tahu, kalau saya sedang bersedih.
Tapi dia enggak tahu, padahal penyebabnya adalah dia, dia akan diadopsi.
Saya takut saya enggak akan bisa ketemu lagi.
Terus ketika tidak ada orang lain, malam hari pas sebelum Kiki diadopsi, saya menangis.
Hari adopsi tiba.
Kiki makan dan minum seperti biasa, tanpa
tahu kalau dia akan diadopsi.
Setelah makan dan tidur sebentar, pukul enam sore, Pak Nakamura datang bawa mobil, Prof Sho datang bawa carrier khusus buat kucing. Kiki yang aware kalau ada yang enggak beres langsung sembunyi. Semua orang memanggil Kiki supaya keluar dari tempat sembunyi, tetapi Kiki enggak mau keluar. Saya hanya melihat dari jauh, sudah mati rasa. Ketika yang lain menyerah, saya coba memanggil Kiki, eh dia keluar dari tempat sembunyi. Tetapi saya tidak sempat ngapa-ngapain, Kiki sudah langsung diambil mereka, dimasukkan ke carrier, ditutup selimut, dimasukkan mobil.
Mereka mengundang saya untuk ikut ke Vet, tapi saya menolak.
Mereka pamit, bilang kalau akan upload foto Kiki di Line group secara rutin.
Setelah mereka pergi, saya beres-beres, lalu pulang.
Selama perjalanan pulang, saya menangis.
Saya merasa orang-orang egois, hanya menginginkan Fanfan atau Kiki menjadi milik mereka, dengan dalih demi Fanfan atau Kiki itu sendiri. The problem is, saya tidak punya kuasa, mulai semester depan juga pasti saya makin sibuk walaupun misal tetap tinggal di Nagoya. Saya tidak punya tempat yang cukup luas untuk Kiki tinggal, tidak punya uang lebih untuk membelikan makanan yang enak, toilet dan pasir litter yang bagus, dan lain-lain.
Jadi, saya menyerah.
As long as Kiki sehat, that’s enough.
Pada akhirnya, saya tetap tinggal di Nagoya, lanjut Postdoc, tidak jadi pindah kemana-mana. Selama sekitar dua minggu, Kiki tinggal di rumah Pak Nakamura, lalu dijemput S untuk pindah ke Tokyo di minggu ketiga September. Hampir setiap hari, foto Kiki diupload, menyampaikan kalau Kiki sehat dan baik-baik saja.
Saya, sekalipun, tidak pernah merespons pesan atau mengomentari foto yang diupload. Karena semester baru semakin dekat dan saya makin sibuk, saya hanya perlu tahu kalau kalian merawat Kiki dengan baik, dan Kiki sehat. Hanya tahu itu saja cukup. Manusianya terserah dan bodo amat, yang penting Kiki sehat.
Hingga suatu hari Jumat, tanggal 17 Oktober, dari pagi saya eksperimen, jadi tidak mengecek handphone sama sekali. Pas mau istirahat siang, setelah selesai eksperimen di lab, saya balik ke ruang desk. Kebetulan sudah tidak ada siapa-siapa karena pada pergi beli makan siang. Saya cek handphone, notif Line sudah buanyakk sekali, I am wondering ini dari siapa saja dan ada apa. Pas saya buka, grup Line Kiki rame.
Kiki meninggal.
Saya, masih pakai kacamata lab, masih pakai jas lab, detik itu juga, menangis.
Air mata enggak berhenti.
Yabai.
Saya masih di ruang desk bagian dari lab.
Yabai.
Anak-anak lab yang pada beli makan siang pasti habis ini balik ke ruangan.
Yabai.
Saya langsung beres-beres, lalu pulang sekalian untuk istirahat siang.
Air mata saya masih belum berhenti.
Saya mulai sesenggukan.
Saya enggak nafsu makan, tapi karena lapar, tetap harus makan walaupun sambil menangis.
Saya belum pernah seberduka ini, setidak siap ini kehilangan sesuatu.
Saya jadi ingat tentang webtoon favorit saya yang saya baca, judulnya Gourmet Hound. Webtoon ini bercerita tentang seorang cewek yang mencari chef yang memasak makanan di restoran favoritnya. Dia kaget setelah suatu hari dia makan di restoran tersebut, dia menyadari kalau rasa masakannya beda, padahal menu yang dipesan sama. It turned out that hampir semua chef yang bekerja di restoran tersebut pergi dan diganti dengan chef-chef baru. Di webtoon ini, semua chef di restoran terkenal tersebut, tersakiti dan trauma, karena tiba-tiba head chefnya menghilang tanpa kabar apapun. Head chef tersebut kehilangan sahabatnya, lalu dia juga terlalu lelah karena overworked dan tumbang. Dia dengan emosional berpikir, sahabat saya meninggal, sahabat yang sangat saya sayangi, sangat hebat, disayang oleh sekitarnya juga. Tetapi kenapa orang-orang tidak merasa apapun? Kenapa orang-orang tetap bekerja, tetap menjalankan kegiatannya. Kenapa dunia tetap melaju, tanpa menoleh sedikitpun?
Sekarang saya paham.
Saya sedih, tetapi harus tetap bekerja.
Saya sedih, banget, apalagi Kiki meninggal setelah diadopsi. Selain sedih, saya menyesal. Coba kalau Kiki enggak diadopsi, tetap dirawat bebas di kampus, apakah mungkin saya masih bisa ketemu Kiki hari ini…?
Kiki sudah tidak ada, dan itu realita yang harus saya hadapi dan terima.
Semoga ketika saya meninggal entah kapan nanti, saya disambut Kiki, lari menghampiri saya dengan ekor tegak menjulang ke atas sambil mengeong riang, sama ketika saya datang ke tempat biasa saya memberi makan dia.








Comments
Post a Comment